CENTER FOR
COASTAL AND MARINE RESOURCES STUDIES
BOGOR AGRICULTURAL UNIVERSITY
Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan - Institut Pertanian Bogor
BOGOR AGRICULTURAL UNIVERSITY
Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan - Institut Pertanian Bogor
ARTIKEL
INDUSTRI PERIKANAN TERPADU
Monday, 28 May 2012 10:36 | Written by CCMRS-IPB |
Monday, 28 May 2012 10:36 | Written by CCMRS-IPB |
Dimuat
: Koran Harian Sore Sinar Harapan, 29 Maret 2006
Kebijakan
industri perikanan terpadu merupakan amanat UU No 31/2004. Pada Pasal 25
disebutkan, usaha perikanan meliputi praproduksi, produksi, pengolahan, dan
pemasaran.
Berdasar
pasal ini, Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi menghentikan kerja
sama penangkapan ikan oleh kapal Filipina pada Desember 2005, kapal Thailand
tahun 2006, dan kapal China 2007.
Kapal
asing tidak diusir secara total dari perairan Indonesia karena ada skema joint
venture (usaha patungan). Dengan sistem ini kapal asing boleh melakukan
penangkapan ikan di Indonesia bekerja sama dengan pengusaha Indonesia. Awak
kapalnya pun harus dari Indonesia.
Tapi
sebelum bicara joint venture, pemerintah terlebih dahulu harus membenahi data
yang berkaitan dengan potensi sumber daya ikan Indonesia. Apakah validitasnya
dapat dipertanggungjawabkan sehingga mendukung pemberian izin? Berbagai
peraturan internasional seperti Konvensi Hukum Laut (UNCLOS 1982), UN
Compliance Agreement 1993, UN Fish Stock Agreement 1995, dan Code of Conduct
for Responsible Fisheries 1999 menekankan artinya validitas data berdasarkan
kajian ilmiah terbaik guna menciptakan perikanan yang berkelanjutan dan
bertanggung jawab.
Bila
peraturan perikanan internasional ini diabaikan, dikhawatirkan perdagangan
produk perikanan Indonesia di dunia mendapatkan ganjalan (embargo). Lemahnya
data perikanan akan menjebak Indonesia pada ketentuan illegal, unreported, unregulated
(IUU) fishing yang sedang diperangi masyarakat perikanan global.
Soal
Bendera
Izin
penangkapan ikan harus juga mengacu ketentuan UNCLOS 1982, yang mencakup
penetapan jenis ikan yang boleh ditangkap, penentuan kuota tangkapan dan
penentuan ukuran ikan. Dipastikan, izin yang diberikan Indonesia kepada kapal
asing selama ini tidak menyebutkan jenis ikan, kuota tangkapan, dan ukuran
ikan. Bagaimana mau menciptakan perikanan yang bertanggung jawab dan
berkelanjutan bila hal-hal yang terkait dengan pengelolaan perikanan tidak
diatur?
Konsep
kebijakan industri perikanan terpadu ternyata masih menyisakan permasalahan,
yaitu re-flagging. Istilah re-flagging (pembendaraan kembali) diartikan sebagai
upaya untuk memperoleh kebangsaan dari negara lain di luar negara kebangsaannya
semula.
Dalam
konsep ini, Pemerintah Indonesia mengharuskan kapal ikan asing yang melakukan
joint venture di perairan Indonesia menggunakan bendera Indonesia yang
merupakan bagian dari paket investasi. Inilah yang menjadi batu sandungan,
karena kapal-kapal asing tersebut bertahan dengan bendera negara asalnya.
Konsekuensi
dari re-flagging adalah perlakuan terhadap kapal asing harus disamakan dengan
kapal lokal, seperti pemungutan pajak, subsidi BBM dan penangkapan ikan di laut
teritorial. Perlakuan ini perlu diwaspadai, karena di laut teritorial banyak
beroperasi nelayan Indonesia yang umumnya berskala kecil hingga menengah.
Jadi,
kalau kapal asing yang nantinya berbendera Indonesia melakukan kegiatan
penangkapan ikan di laut teritorial, dapat dipastikan akan menambah angka
konflik nelayan. Konflik tersebut bukan hanya disebabkan kesenjangan alat
tangkap, tetapi juga pelanggaran jalur tangkapan ikan dan konflik fishing
ground.
Bersaing
Terbuka
Ada
kelebihan dari kebijakan industri perikanan terpadu, yaitu ada kewajiban
perusahaan joint venture membeli ikan nelayan lokal. Namun, hingga saat ini
skema tersebut belum jelas. Sebagaimana kita ketahui, kualitas tangkapan
nelayan lokal dipengaruhi keterbatasan teknologi penanganan ikan di atas kapal.
Rendahnya kualitas berpengaruh pada nilai jual.
Gawatnya
lagi, mungkin saja kualitas hasil tangkapan nelayan lokal tidak sesuai dengan
standar mutu perusahaan pengolahan sehingga akan terjadi penolakan pembelian.
Maka kebijakan re-flaging akan menyudutkan nelayan lokal dan membawa mereka ke
tingkat kemiskinan yang berkepanjangan.
Mereka akan saling bersaing terbuka
dengan nelayan asing yang berbendera Indonesia di laut.
Selama
ini kapal asing yang hanya boleh beroperasi di perairan ZEE Indonesia sudah merepotkan
nelayan lokal. Bagaimana jadinya kalau nelayan lokal harus bersaing terbuka
dengan kapal asing yang menggunakan alat tangkap berteknologi tinggi di laut
teritorial?
Guna
menciptakan kelancaran dalam pelaksanaan kebijakan industri perikanan terpadu,
pengurusan izin yang lambat/berliku harus dipangkas. Perlu buku pedoman
mengenai cara-cara investasi di bidang perikanan. Buku tersebut tidak hanya
bertujuan menciptakan kemudahan berinvestasi, tetapi juga menciptakan
transparansi karena proses perizinan di bidang perikanan rawan pungutan liar.










